Posted on Leave a comment

Lansia yang Berkarya

Tantangan Menulis dalam 23 menit

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Saya menantang diri sendiri untuk menulis dalam waktu 23 menit. Berikut hasilnya, dengan realisasi waktu 21 menit:

Dua hari ini saya dibuat Baper oleh status atau tanggapan seorang senior. Meski tidak yakin kalau ia serius. Tapi menyoal bahwa dirinya telah lansia, membuat saya gelisah.

Usia menghentikan karya? Saya menilai tidak sepenuhnya tepat. Berkarya, seperti belajar, berakhir saat nyawa terpisah dari raga.

Bahkan diusia senja (sekalian saja dikatakan begitu) adalah kesempatan berkarya. Salah seorang penulis Jepang, ah saya lupa namanyi, mulai menulis diusia 92 tahun, menerbitkan buku usia 98 tahun. Dan menjadi 10 besar buku terbaik Jepang 2010.

Jadi mengulang-ulang atau mengeluhkan bahwa usia yang lansia, atau senja, dan mengurangi kesempatan berkarya, perlu direnungkan ulang. Semakin tambah usia semakin dalam pemahaman, meski semakin menurun ingatan. Normalnya begitu.

Satu hal yang tidak bisa dikalahkan dari orang berusia senja adalah: PENGALAMAN. Tentu pengalaman ini akan memberikan sudut pandang yang luas dan berbeda, dibandingkan kami yang lebih muda, jarang membaca, tapi ingin punya karya.

Senior saya ini, hobinya bersepeda gunung. Sudah terbiasa dengan pandangan di ketinggian (lho!). Saya juga yakin pengalaman beliau benar sesuai masa dan usianya. Bukan sekadar pengalaman setahun yang diulang-ulang.

Kelas Menulis

Senior yang lain, yang dikomporin senior yang ngaku lansia, mengajak membuat kelas menulis. Tentu dengan pembicara BUKAN SAYA. Pembicara yang di rencanakan adalah: Rahasia.

Saya ceritakan pengalaman saya mengikuti kelas menulis. Makin menggebu ia. Apalagi saat kami bercerita tentang masa-masa bekerja bersama di luar Jawa.

Semoga rencana ini terlaksana. Termasuk mengajak kawan muda. Agar paling tidak, kami punya karya sebelum lansia.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Mustikarasa: Sebuah Warisan Budaya

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Mustika rasa Cafe & Resto

Untuk kali pertama berkunjung ke resto baru. Belum dibuka untuk umum. Pertama kali mendengar nama “Mustika Rasa” sebagai nama resto, yang muncul adalah penasaran.

Mesin pencari di internet bekerja sejenak. “Mustikarasa”,–yang betul tidak dipisah– satu-satunya buku masak resmi yang diterbitkan Pemerintah Indonesia (detikfood). Aha, luar bisa ini. Diterbitkan di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Dengan mengambil nama tersebut, menunjukkan komitmen resto untuk mempertahankan dan memajukan kuliner nusantara. Paling tidak itu yang terpikir di benak saya.

Buku yang dapat disebut ‘kitab’ Mustikarasa karena tebalnya 1.123 halaman, dengan 1.600 resep masakan. “Mustikarasa” bisa berarti sebuah tantangan bagi resto yang mengambil nama kitab ini sebagai jenamanya. Kitab ini seolah berkata: “resepku sangat banyak, tidak ada alasan engkau memasak masakan luar negeri”.

Dari beberapa masakan yang kami cicip, terasa sekali kekhasan masakan Indonesia. Gurame, udang, tahu, dan tentu saja nasi putih sebagai menu utama.

Selain urusan resep, ada juga urusan tampilan service person: pramusaji dan personel lainnya. “Budaya Indonesia” harus melekat dan kental terasa, dalam nuansanya. Kalau dari bangunan, memang dibuat modern minimalis. Berarti urusan budaya ada di layanannya.

Kompetensi service diantaranya salam kedatangan, seragam, penanganan komplain, dan aspek lainnya. Harus Indonesia Banget.

Semoga kafe Mustikarasa ini dapat mewakili kejayaan dan keberagaman kuliner Nusantara. Mampu berjaya di tengah gempuran resto masakan dan minuman kekinian.

(Wiyanto Sudarsono)