Posted on 1 Comment

Pemuda dan Bahasa

Sungguh agung kakek nenek kita dulu. Pendiri dan penggagas bangsa ini. Meskipun saya sebut kakek nenek, atau buyut mungkin, tapi mereka adalah pemuda di zamannya.

Cita – cita mereka luhur. Menyatukan Nusantara. Aceh sampai Papua. Beragam suku bangsa dan agama. Menjadi satu. Tanah tumpah darahnya jadi satu. Bangsanya jadi satu. Bahasanya jadi satu. INDONESIA.

Saya tidak tahu bahasa yang mereka gunakan dalam rapat. Bahasa Indonesia murni, ataukah bercampur bahasa Belanda. Seperti pemuda sekarang, bercampur dengan bahasa Inggris. Sebagian orang menyebutnya keminggris (keinggris – inggrisan). Atau bercampur dengan bahasa Korea.

Saya bukan, atau belum menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik. Apalagi baik dan benar. Masih belajar. Baik ragam lisan maupun tulisan.

Saya senang dengan tanggapan Pak Yusuf Ridho. Ia senantiasa memberi catatan tentang penggunaan Bahasa Indonesia. Orang yang ditanggapi adalah Pak Dahlan Iskan di blognya disway.id. Jadi saya mengikuti catatan di disway.id, selain karena asik, saya dapat belajar bahasa Indonesia. Meski tidak berburu pertamax (tanggapan pertama) di pukul 04.00 WIB.

Sayapun ingin menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain karena saya juga tidak mahir berbahasa asing.

Saya sering berdiskusi, dengan salah satu mentor saya di kantor. Terkait penulisan PROVINSI (baku) dibandingkan dengan PROPINSI (tidak baku). KBBI jadi andalan saya. Kepanjangan ITS selalu jadi andalannya. Bahkan, kadang kala penulisan bulan Nopember (tidak baku) di kalender dijadikannya penguat.

Pernah sewaktu di toko buku, saya menyempatkan membeli buku tentang Bahasa Indonesia. Buku itu selalu ada di meja kantor. Judulnya “Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar”, karya Dr. Dendy Sugono.

Semoga kita dapat menjadi penutur Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak keminggris atau kemlondo. Bangga berbahasa Indonesia.

Sesuai isi sumpah pemuda. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. Agar kita tidak ditanya, “kalian memperingati Hari Sumpah Pemuda, menyumpahi apa? Atau menyumpahi siapa? Kok bahasa Indonesia-nya begitu?”. Entah siapa yang akan bertanya.(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Tanggung Jawab (3), Kita adalah Apa yang Kita Jual

Seri Kesembilan, Serial Jualan dengan Karakter

Kita adalah apa yang kita makan. Demikian yang sering disampaikan coach /pelatih hidup sehat. Kita adalah apa yang kita baca. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Demikian yang sering kita dengar dalam materi pengembangan diri. Sebagai penjual, kita adalah apa yang kita jual.

Buka soal barangnya. Bukan soal harganya. Bukan soal merek, brand produk atau jasa yang kita tawarkan. Bukan produk inti saja. Bukan hanya soal itu semua saja. Tapi termasuk hal-hal yang menjadi bagian dari yang kita jual. Yang melekat langsung ataupun tidak. Termasuk bagaimana kita menjualnya.

Ini berlaku untuk semua jenis hubungan penjualan. Terutama jika kita ingin hubungan jangka panjang dengan pelanggan.

Ada cerita. Seorang penjual telah berhasil meyakinkan pelanggan pasar B2B-nya. Pelanggan korporat. Sebutlah nama penjual tersebut Pak Mohamad. Pak Mohamad telah berhasil menjual barang – pupuk-, ke perusahaan perkebunan. Jumlahnya cukup besar. Presentasi dan contoh pupuk yang dikirim Mohamad begitu menarik dan meyakinkan.

Namun, setelah barang datang di gudang pembeli. Alangkah terkejutnya pembeli. Kemasan kotor. Lembab. Berair. Melebihi batas toleransi. Tidak seperti contoh.

Bos pembeli marah besar. Pak Mohamad berjanji akan segera ke kebun pembeli.

Pak Mohamad tidak main – main dengan janjinya. Ia tiba di gudang dan kantor kebun pembeli. Bersama tim. Ada orang produksi dan laboratorium. Sampai ada anggota tim Pak Mohamad yang mabuk perjalanan. Karena jauhnya. Dan jalannya.

Sampai di lokasi langsung “disemprot” pembeli yang marah besar. Sampai Pak Mohamad lupa untuk disilakan duduk. Pak Mohamad menanggapi dengan serius. Namun, meminta izin untuk duduk sebelum menjelaskan. Dan suasana menjadi agak cair.

Permasalahan dan kondisi pelanggan didengarkan satu persatu dan diberi penjelasan satu persatu oleh Pak Mohamad. Tidak membantah sudut pandang pelanggan.

Pak Mohamad saya nilai sebagai penjual yang berkarakter. Ia akui kesalahan. Berbeda dengan penjual yang tidak berkarakter, yang justru akan ngeyel dan ngeles. Tidak mau mengakui kesalahan. Yang justru membuat pelanggan marah besar.

Barang yang dijual sudah sulit di tarik kembali. Pak Mohamad berjanji memberikan beberapa kompensasi. Yang oleh Pak Mohamad dipenuhi. Dengan dukungan unit kerja lain tentunya. Pembeli pun mengerti dan menerima.

Penjual yang berkarakter pasti mau berkomitmen dan bertanggung jawab atas setiap perkataan maupun tindakan yang dilakukannya.

Hikmah yang bisa diambil adalah, kita sebagai penjual harus bertanggung jawab. Bahkan terkait permasalahan pokok produk. Yang mungkin karena adanya ketidak sesuaian di proses produksi atau penanganan. Bukan kesalahan penjual.

Penjual harus bisa dan mampu Bertanggung jawab. Karena penjual yang berhadapan dengan pelanggan.

Alangkah indahnya jika kita bersikap demikian. Dengan pelanggan. Eksternal maupun internal. Secara korporat, unit/tim, maupun individu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Semoga.

(Wiyanto Sudarsono).