Kemuliaan seseorang dilihat dari kesetiaannya
Selain pada kesetiaan, janganlah kau cari bukti lainnya
Kurma berbuah anggur pernahkah kau melihatnya
Atau lebah menyimpan kayu harum di dalamnya
Barang siapa setia akan mulia. Kesetiaan adalah bukti ketulusan yang paling nyata. Kesetiaan setiap orang berbeda-beda kadarnya. Tergantung sifat orangnya.
Syair dan kalimat atas saya ambil dari bahasan ke-22 (Kesetiaan dalam Cinta) oleh Ibnu Hazm dalam terjemahan Thauqul Hamaamah.
Kesetiaan juga berlaku dalam bekerja. Karena itu ada “Loyal” dalam di nilai inti (core value) di banyak perusahaan.
Bukankah setiap orang/perusahaan menginginkan pekerja yang setia? Dan membenci yang sebaliknya: khianat.
Tentu dalam konsep bekerja, kesetiaan dituntut dari pekerja kepada perusahaan/ pemberi kerja. Bukan sebaliknya. Adapun pemberi kerja adalah pihak yang bisa menerima atau menolak. Bukankah pekerja yang melamar pekerjaan?
Untuk mengikat kesetiaan, dalam dalam hubungan antara pekerja dengan perusahaan terdapat kontrak dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Di perusahaan kami ada Tri Dharma Perusahaan.
Berdasar pencarian saya melalui mesin pencari, filosofi itu diambil dari sikap yang pernah diambil oleh Mangkunegara I (Raden Mas Said).
Tri Dharma perusahaan kami sebagai berikut:
1. Rumongso melu handarbeni; merasa ikut memiliki;
2. Wajib melu hangrungkebi; berkewajiban ikut membela/mempertahankan.
3. Mulat sariro hangroso wani; berani berintrospeksi/mawas diri/ tanggung jawab.
Karyawan yang setia adalah menginginkan kebaikan bagi perusahaannya, bukan bagi dirinya sendiri. Kesetiaan seseorang memang bertingkat.
Pertama, setia dengan memuliakan kepada yang juga memuliakan. Ini sudah seharusnya.
Perusahaan telah memberikan hak kepada pekerja. Sudah semestinya pekerja memberikan kinerja terbaik yang ia bisa. Bukan kinerja sekedarnya kinerja seadanya. Tidak hanya asal ngglundung saja, atau bahkan banyak malasnya.
Kedua, kesetiaan berupa memberi kebaikan pada orang yang khianat/tidak sesuai. Orang per orang penilaiannya bisa berbeda, satu atau dua pekerja mungkin pernah merasakannua. Merasa diperlakukan tidak adil. Dan seterusnya.
Namun, orang pekerja yang setia akan memberikan yang terbaik yang ia bisa. Tidak membalas dengan serupa, lebih buruk atau malah mbanggel.
Lebih lagi di tataran manajemen pekerjaan. Bisa jadi bukan maunya perusahaan atau pemilik perusahaan, namun hanya oknum di suatu level yang menjadikan ketidakadilan. Tentu tidak pantas menyalahkan, atau bahkan mengkhianati perusahaan. Gabut (gaji buta) namanya.
Ketiga, kesetiaan dalam keputusasaan yang mendalam, setelah sebelumnya merasa dalam Kenikmatan.
Saya mencoba memikirkannya dalam tataran pekerjaan. Mungkin ini seperti pekerja dan perusahaan yang saling menguatkan. Entah ada alasan apa, tiba-tiba perusahaan berkinerja buruk, hingga jatuh terpuruk. Na’udzubillah, semoga perusahaan kita terhindar dari kondisi buruk.
Pekerja yang setia sekuat tenaga membangun kembali. Bertahan di perusahaan itu. Tidak mau diajak berpindah. Bahkan rela dipotong gajinya. Tidak masuk akal memang. Tapi itu terjadi di hal lain. Di pekerjaan sangat mungkin.
Selayaknya kita sebagai karyawan bersyukur jika kita mampu setia pada pekerjaan kita. Dan pekerjaan kita menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada kita.
Jangan sampai kita hanya menuntut, merajuk, meminta lebih yang tiada habisnya. Syukuri semuanya dengan legawa.
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).“
QS.Aḍ-Ḍuḥā [93]:11
(Wiyanto Sudarsono)
Bahan bacaan: Di Bawah Naungan Cinta disadur dari Thauqul Hamaamah karya Ibnu Hazm Al Andalusia oleh Anif Sirsaeba. Penerbit Republika. 2008.