Dua tahun ini, tentu Pandemi adalah yang paling mengejutkan. Mungkin terbesar setelah Perang Dunia II.
Mengubah banyak hal. Pola konsumsi, cara konsumsi, transportasi, bahkan sampai tingkat kehidupan individu.
Sektor yang tidak seberapa besar perubahannya, dibanding yang lain, mungkin adalah pertanian. Pertanian budidaya lebih tepatnya. Terdampak, tapi tidak sebesar sektor lain. Alhamdulillah.
Beberapa waktu lalu, diskusi tentang segmentasi di salah satu WA Grup cukup ramai. (Baca: Momentum Mengeluh). Ternyata sampai juga kita di persinggungan dengannya.
Segmentasi pasar produk sarana produk pertanian, mungkin tidak jauh berbeda antara sebelum pandemi dan saat ini (masih pandemi).
Segmentasi statis dengan membagi pasar berdasarkan kawasan pertanian, dataran rendah, tinggi, irigasi teknis dan tadah hujan, provinsi/Kabupaten masih relevan. Luas areal pertanaman, komoditas atau subsektor yang ditanam, atau usia kebun, juga masih menjadi segmentasi yang bisa digunakan.
Sesitivitas pelanggan tehadap harga, cara menggunakan produk, perilaku budidaya, keberanian mengambil risiko, bisa menambah kaya segmentasi yang dimiliki. Lebih banyak segmen apakah lebih baik? Tidak juga. Belum tentu.
Yang jelas, memiliki segmentasi lebih baik dari pada tidak ada. Agar strategi tidak gebyah uyah, sembarang boleh. Kita tidak harus menjual semua produk kita di seluruh pasar. Cukup sediakan dan jual di pasar sasaran saja. Sehingga stok tidak perlu berulang tahun.
Sebagai penjual, jangan juga suka meminta produk, atau ukuran produk yang belum tentu sesuai dengan strategi. Biasanya hanya sebagai alasan tidak tercapainya target. Ups. Pelanggan maunya kemasan 5kg. Misal demikian. Setelah disediakan juga tidak bergerak.
Setiap produk ada segmennya. Setiap segmen ada produk dan brandnya. Termasuk gambar pada kemasan. Termasuk cara komunikasinya.
Tentukan segmen kita, pastikan produk, brand, kemasan yang sesuai. Dan mari jualan!!
(Wiyanto Sudarsono)