Hari ini hari yang berbahagia. 01 Maret 2020. Hari kedua. Setelah hari pertama. Dua pekan lalu. 16 Februari 2020. Terutama untuk dua keluarga dari dua desa berbeda di kampung halaman saya. Tulang Bawang Barat, Lampung.
Walimah al-Ursy (pesta pernikahan) pertama di selenggarakan di rumah pengantin wanita. Kedua, dilaksanakan di rumah pengantin pria. Ngunduh mantu, demikian istilah di adat Jawa. Ya karena pengantin adalah Pujakesuma. Putra/Putri Jawa Kelahiran Sumatera.
Pernikahan, satu dari tiga fase kehidupan yang – – setahu saya— hampir semua masyarakat dan suku bangsa, dan agama punya ritual khusus untuknya. Kelahiran, pernikahan, dan kematian. Sunatan atau khitanan, tidak semua adat memilikinya.
Pernikahan tidak hanya menyatukan dua orang, menjadi pasangan. Tapi dua keluarga. Juga, bisa dua desa. Atau dua kelompok masyarakat.
Dengan pernikahan, dan rangkaian acaranya, harusnya dua kelompok masyarakat bisa lebih saling mengenal dan menyapa. Sehingga tercipta kerukunan. Dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan pernikahan dilengkapi setengah agama seseorang. Demikian nasihat dari hadis Rasulullah.
Dengan pernikahan, dilengkapi separuh jiwa atau nyawa seseorang. Itu mengapa istri atau suami adalah garwo (sigarane nyowo) dalam istilah Jawa. Separuh jiwa bagi suami atau istri yang merupakan pasangannya.
Selamat kepada sepupu kami. Siska Yunita dan Adi Suseno. Barakallahu lakumaa wa baraka ‘alaikumaa Wa jama’ a baina kumaa fii khair.
(Wiyanto Sudarsono)