Oleh: Wiyanto Sudarsono
Menulis adalah proses memerdekakan diri. Entah saya pernah mendengar atau membaca dimana. Merdeka dalam menulis. Kayaknya judul buku. Setelah saya cek di google, ternyata betul, buku yang telah lama saya miliki Writing without Teacher oleh Peter Elbow.
Sore ini saya belajar lagi tentang bagaimana menulis. Nama kelasnya “Kupas Tuntas Kesulitan Menulis”. Diasuh langsung oleh Guru kami Cahyadi “Pak Cah” Takariawan.
Kelas lebih pada menjawab dan menuntaskan pertanyaan peserta. Pertanyaan seputar kesulitan menuliskan gagasan, dan tentang kesulitan “percaya diri” dengan karya tulis sendiri.
Kelas didomimasi oleh peserta dari kaum ibu. Luar biasa. Saya selalu terkagum dengan kemauan ibu-ibu untuk berkarya.
Saya sedikit berbagi. Bahwa kesulitan menulis penyebabnya adalah ketakutan. Solusi darinya adalah mengatasi ketakutan.
Takut dinilai kurang ilmiah, perbanyak referensi. Kalau perlu buat penelitian sederhana dengan metode ilmiah. Tentu ketakutan ini tidak perlu terjadi, jika kita menulis fiksi.
Takut dirasa terlalu ilmiah. Buat lebih ngepop. Lebih ringan. Tulisan Dahlan Iskan bisa menjadi bacaan dan contoh menarik menge-popkan tulisan ilmiah.
Takut dinilai tidak berkualitas. Receh. Receh mana antara punya tulisan dengan tidak sama sekali?!
Takut dinilai plagiat. Cantumkan referensinya. Jujur, hanya itu saja untuk mengatasi ini.
Takut mengutip tidak pas pemahamannya. Buat pengecualian atau pemakluman (disclaimer). Misal, sesuai yang saya pahami dari buku MANTAP karya Wiyanto Sudarsono, bahwa penampilan bagi seorang penjual di sektor pertanian itu perlu. Meski bertemunya dengan petani. Tentu, penampilan yang sesuai dengan aktivitas lapang pertanian.
Ketakutan sebenarnya bisa menjadi motivasi menulis juga. Saya terinspirasi dari film Collateral Beauty (2016) bahwa ada tiga hal penting bagi kita: cinta, waktu, dan kematian (saya lebih senang dengan ketakutan). Ini berlaku di dunia pemasaran.
Karena cinta, kita melakukan sesuatu. Termasuk mengungkapkan cinta. Pengungkapan bisa dengan kata. Maka tuliskanlah agar bertahan lama, kata-kata itu.
Karena tidak ingin menyiakan waktu, maka kita berbuat segera, dan pengennya cepat. Agar manfaat kita (ilmu, pengalaman, dll) melampaui waktu umur kita, maka menulislah. Segera! Agar waktu kita tak tersia.
Ketakutan. Kita semua takut dilupakan, kita takut tidak membawa manfaat. Kita takut….ah terlalu banyak ketakutan itu.
Menulislah yang bermanfaat maka kita akan diingat. Kita menyebarkan manfaat. Apapun itu. Merdeka!!
Sambil makan nasi goreng, menunggu isya di sebrang Masjid.
(Wiyanto Sudarsono)