Di sela-sela kegiatan harian -bekerja- menjadi seorang buruh perusahaan. Terkadang membuat kita sibuk untuk memberi makanan pada nalar. Betul-betul kita kurang menghargai diri kita makhluk berakal dengan pikiran. Kerja, makan, hiburan, dan sesekali mengkhawatirkan yang sudah dijanjikan. Khas anggota masyarakat di peradaban tontonan. Astaghfirullah.
Sering kali kita ini lebih sibuk daripada pemberi kerja dan upah. Mungkin itu sebabnya ada perjuangan kaum buruh. Sebagai upaya penyetaraan.
Namun, adakah ketika ada sedikit waktu luang kita lakukan untuk belajar?! Mengisi hati, pikiran dan nalar untuk tetap berkembang dan tajam. Atau setidaknya tidak tumpul dan karatan?! Sebagai rasa syukur akan waktu luang.
Pikiran nalar dan –mungkin– perasaan saya pikir sebagai bagian dari diri kita yang merdeka ketika menjadi pekerja. Akankah juga tergadaikan?! Belajar mengolah nalar akan membantu kita dalam bekerja lebih baik. Agaknya begitu.
Di atas sebenarnya sindiran diri saya untuk saya, dan perasaan yang mendera saya ketika membaca uraian Yusuf Maulana dalam bukunya Tokoh Tokoh Fenomenal Penggetar Nalar (Pro-U Media, Yogyakarta 2020). Atau mungkin itu rasa sebagaimana dalam judul: “penggetar”. Nalar dan perasaan saya tergetar karenanya.
Belum selesai saya baca, ah gemuruh hati ini, marah pada diri: mengapa dan kemana selama ini?! Iri hati ini melihat para tokoh yang begitu bersahaja dalam harta, namun begitu bercahaya dalam cita.
Saya harus merendahkan diri, hati dan pikiran. Agar hikmah saya dapatkan. Melapangkan dada, menggugah nalar, dan berdoa untuk ketetapan di atas agama Allah.
Sebagai buruh, kita harus juga tetap belajar. Mengisi pikiran. “Pemikir, Pekerja, Pekerja Pemikir”. Sebagaimana tulis kawan dalam status WA. Sebagai tulisan di bawah (caption) gambar foto buku MANTAP yang baru diterimanya.
Belajar menyelami pemikiran secara adil. Belajar bersikap pertengahan. Mencoba mengambil hikmah dari setiap tokoh, pemikiran, perubahan, dan berharap hidup hingga mati di atas jalan kebenaran.
(Wiyanto Sudarsono)