Posted on Leave a comment

Syair Sahabat

Sebuah Catatan Jumat

Kawan hidup ini umpama langit
Yang tidak selalu cerah
Kawan hidup ini umpama awan
Yang tidak selalu putih

Ingatlah (ingatlah kawan ingatlah)
Bintang-bintang di langit Takkan terus berkelipan
Ingatlah (ingatlah kawan ingatlah)
Pelangi yang indah
Pasti akan hilang

Kawan jangan biarkan dirimu
Umpama lipan dan kala
Berbisa namun akhirnya
Menjadi perhiasan dimeja tulis

Oh kawan jadilah seperti si matahari
Membakar diri demi insan sejagat
Oh kawan jadilah seperti bulan purnama
Menerangi malam yang gelap gulita
Menunjukkan jalan demi umat semesta

Bait-bait syair. Potongan dari syair berjudul Kawan, yang didendangkan oleh Unic, 2002.

Bercerita tentang persahabatan. Yang baik. Namun tidak selalu baik. Ada kalanya tidak baik.

Selalu begitu dalam setiap hubungan manusia. Dalam kehidupan. Karena hidup tidak selalu datar. Seperti tagline merek kudapan (snack) kentang yang terkenal. Life is Never Flat.

Namun, hubungan harus selalu dirawat. Jika ingin diteruskan. Jika ingin awet.

Persahabatan, sebagaimana hubungan antar manusia lainnya, seperti menanam. Lebih tepatnya menanam padi. Yang teknik budidayanya cukup rumit. (baca : memahami sawah).

Kadang tumbuh suket teki. Eh.. Gulma. Gulmanya, bisa salah bicara. Bisa salah paham. Atau salah dalam mengambil keputusan. Atau bercanda yang berlebihan. Atau hanya keceplosan. Baik dalam lisan maupun tulisan.

Padi harus dijaga. Sebagaimana persahabatan. Gulma harus dikurangi. Bisa dengan disiangi. Atau pakai pestisida, kimia atau hayati. Itulah nasihat. Agar pertemanan tetap sehat.

Padinya, harus terima seprotan pestisida. Itulah memaafkan. Menyadari bahwa sahabat, kawan, teman kita juga manusia.

Itu mengapa, kita hendaknya bersyukur jika kita pernah berbuat salah. Dan bersyukur karena kita diberi kesadaran bahwa kita telah berbuat salah. Agar kita sadar, bahwa kita manusia biasa. Agar jika ada orang yang berbuat salah, kita dapat dengan mudah memaafkannya.

Sahabat itu selalu memberi arti. Sahabat itu saling memberi kasih. Sahabat itu cerminan ketulusan. Demikian sebagian orang mengatakan.

Bagi saya, Sahabat itu juga memaafkan. Dan harus mampu memaafkan. Sahabat itu juga menasihati dan mengingatkan. Bahkan terkadang perlu dengan keras dan tegas. Agar persahabatan tetap baik, di jalan kebenaran.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on

Jadi Nego

Seri Ke-16, Serial Catatan Seorang Penjual

Sore kemarin ada pasangan suami istri mencari matras. Kasur untuk tidur. Ada paling tidak tiga brand yang ada di salah satu toko ritel. Di pasar tradisional di kota.

Satu merek terpilih. Tinggal harga yang belum disepakati. Cukup alot.

Penjual tidak bisa menurunkan harga lagi. Bisa kena sanksi. Dari Distributor dan dari pemilik brand/produsen.

Itulah pasar ritel. Harga sudah diatur. Meski tawaran pertama bisa dinaikkan. Tapi, penjual ritel memegang daftar harga. Terkadang daftar harga itu diperlihatkan.

Kebijakan harga di pasar ritel begitu. Paling tidak demikian yang saya amati. Harga pengguna akhir ditetapkan. Ditulis dalam katalog. Kadang ditulis dan ditempel di kios.

Harga beli Pengecer dikurangi (didiskon) sekian persen dari harga katalog itu. Distributor dapat diskon sekian persen dari harga itu.  – – lebih besar dari Pengecer tentunya–.

Turun Harga Bukan Solusi

Penjual punya titik kritis. Harga terendah yang bisa diberikan. Biasanya ya harga di katalog itu.

Ada juga harga target. Harga yang sedang. Dan ada titik yang masih mungkin. Harga tertinggi yang bisa ditawarkan.

Rentang harga terendah – tertinggi, adalah harga yang masih bisa diterima oleh konsumen.

Jika penjual ritel sudah mengeluarkan harga katalog, dia sudah sampai pada titik kritis. Sudah tidak bisa turun lagi. Menurunkan harga bukan lagi solusi. Tidak bisa lagi dibahas dalam negosiasi.

Pembeli membuka poin negosiasi baru. “kami tidak hanya membeli matras, kami juga perlu lemari, bisakah kami mendapat bonus bantal atau guling?” tanya sang istri.

“bisa, kata penjual. Tapi nanti di nota tetap sesuai harga awal. Tapi nanti kami kirim bantal bonusnya”. Tegas penjual.

Menurunkan harga tidak bisa. Apalagi jika memotong laba penjualan. Menambah bonus masih bisa. Lagian tidak nyaman tidur di matras baru tanpa bantal.

Dan banyak hal yang bisa di negosiasikan. Selain harga tentunya. Bonus, pengiriman, penjualan bersama produk lain, metode pembayaran. Tapi apa yang bisa dan tidak tentu perlu dibicarakan dulu di internal organisasi kita.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on

Pernikahan Sahabat

Catatan Rabu Bahagia


oleh Rega Vionanda dan Sahabatnya

Gua punya temen
Malam minggu dia melongo
Soal cewe dia dongo
Tapi dia bukan homo
Dia cuma seorang jomblo

Itu bukan syair karya kami. Itu Saykoji yang punya. Tapi itu sering menginspirasi. Atau menyindir. Orang yang belum menikah.

Dan itu (sindiran, atau perundungan, bullying) yang membuat kita sedih. Masih banyak orang menyindir mereka yang belum menikah. Belum menikah – menikah. Padahal bisa jadi itu pilihan mereka. Yang jelas itu takdir mereka saat ini. Belum menikah.

Maafkan kami teman. Yang mungkin sering merundung kalian.

Ingin Sendiri

Seperti sahabat saya yang satu ini.
Salah seorang sahabat saya yang belum menikah. Ia pernah bercerita, Ia sangat terobsesi dengan film The Good Doctor. Edisi Amerika. Bukan yang Korea atau Jepang yang ia ceritakan.

Pada beberapa plot di serial TV Amerika itu, tergambarkan permasalahan kehidupan. Menampilkan seorang tokoh yang tidak mau menikah dan tidak mau punya anak. Ia sebenarnya menjalin sebuah hubungan. Problematika (tidak ingin punya anak) yang tabu untuk budaya kita — budaya timur.

Walaupun jauh dari daratan Barat sana, ternyata di dekat kita ada yang mengalami permasalahan yang sama. Mungkin mirip. Hanya saja mereka cendrung menutupi dan enggan bercerita.

Sahabat saya yang lain memiliki pandangan yang berbeda. Dia sangat senang menerima undangan pernikahan. Dia gembira dengan menghadiri hajatan pernikahan. Dia berbahagia melihat orang-orang terdekat menikah.

Tapi entah mengapa dia memutuskan untuk tidak menikah. Keputusan itu masih sama sampai saat ini. Mungkin karena dia pernah dikecewakan atau apapun itu. Kita patut menghargai keputusannya.

Ada yang lain lagi. Seorang mapan yang memiliki pasangan. Tapi sayangnya mereka sama-sama belum yakin dengan jenjang pernikahan. Mereka memiliki karir yang bagus. Uang yang berkecukupan. Kehidupan yang lebih dari layak hanya untuk membangun sebuah keluarga. Tapi, ego mereka sama-sama besar. Mereka masih belum memutuskan untuk menikah. Ya sudahlah, itu hidup mereka.

Ingin bersama

Ada juga seorang sahabat saya yang soleh, rajin ibadah, sangat ingin menikah. Bahkan dia sudah mendatangi Kota Mekah dan Madinah. Berdoa kepada Sang Khalik agar segera mendapatkan jodoh.

Dia mencita-citakan untuk segera menikah, segera berumah tangga dan membesarkan anak-anaknya. Namun faktanya, Tuhan masih menguji kesabarannya, dia belum diberkahi jodoh yang diinginkannya. Dia harus lebih bersabar dan banyak ikhtiar.

Ingin-Ingin

Dari berbagai cerita itu, kita bisa menarik hikmah. Ternyata beragam permasalahan yang dihadapi setiap individu lajang. Terutama untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Teradang kita terlalu latah mencampuri urusan orang lain. Seolah-olah ingin membantu. Ingin memberi solusi. Atau memang ada niat mengolok-olok.

Kita terlalu jauh melangkah ke ranah privasi orang lain. Jika kita peduli, doakan saja. Agar mereka lekas menikah jika itu terbaik untuk mereka.

Atau sekalian bayarkan uang gedung, katering, seserahan dan cendramata pernikahan. Bayari biaya WO-nya. Itu baru namanya Sahabat. Kalau ga bisa, menengo (diam saja), Cheers. Bercanda.

Itulah sahabat, bercanda kadang kelewat.

Itu belum cerita tentang sahabat yang lain. Yang ingin menikah lagi. Untuk kali kedua. Baru ingin.

(Rega Vionanda dan WS).

Posted on

Jangan Bicara

Seri ke-15, Catatan Seorang Penjual

“Penjualan dimulai ketika pelanggan mengatakan tidak”
– Jeffrey Gitomer

Para penjual adalah orang yang harusnya menyukai kopi. Bukan berarti harus selalu suka ngopi, minum kopi. Tapi suka dan siap merasakan rasa kopi tanpa gula. Dalam arti kesamaan rasa. Pahit.

Ya, proses penjualan tidak selalu mulus. Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Ditolak. Mirip dengan menyatakan atau menawarkan cinta. Siap ditolak.

Jika pelanggan akhirnya menolak, paling tidak kita sudah menyampaikan penawaran kita. Dan setidaknya dia telah mendengar. Semoga tertarik, meski saat ini menolak. Tetap berharap suatu saat calon pelanggan dalam menerima tawaran kita. Mirip kisah cinta Cak Nun kepada Novia Kolopaking lah.

Berhentilah
Saat kita bicara kepada calon pelanggan. Dan dia atau Ia senantiasa melihat jam tangan, atau jam dinding. Wajah yang terlihat bosan, suntuk. Tidak tanya apapun. Bola mata berputar putar. Saat itu mari kita berhenti. Berhenti bicara. Bersiap mendengar.

Mari kita lebih banyak mendengarkan detail keberatan calon pelanggan. (baca : dengarlah).

Mari menjadi pendengar yang baik. Mendengarkan dan bereaksi yang tepat. Menunjukan perhatian (misal dengan ungkapan “iya Pak”) . Pengertian (dengan ungkapan” oh begitu, saya mengerti Bu”), dan penerimaan (“masuk akal Pak. Betul begitu Bu”).

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Masih Ada Jalan

Seri ke-14, Serial Catatan Seorang Penjual

Penjual harus punya banyak senjata. Tidak hanya harga bersaing – – murah.

Kita semua tahu – – karena kita juga konsumen–, banyak calon pelanggan adalah orang yang sensitif terhadap harga. Apalagi saat belanja di pasar tradisional, atau tukang sayur, ups.

Sering kali harga jadi faktor gagal dan berhasilnya proses penjualan.

Kita, dari produk yang kita jual, sebenarnya punya banyak hal yang bisa ditawarkan. Tidak hanya harga. Semakin banyak hal, variabel, fitur, banyak pula senjata kita miliki.

Kita, sebagai penjual hendaknya menghindari situasi “take it, or leave it”. Mau ambil, nggak mau ya sudah.

Misal, sebuah situasi yang kita dihadapi sebagai penjual sarana produksi pertanian. Penjual pupuk N. Pelanggan mengatakan bahwa Pupuk M lebih murah dari pada pupuk N kita. Dan meminta kita menurunkan harga. Parahnya, harga kita sudah menawarkan di harga dasar.

Jika kita berpendapat oh ya sudah jika tidak mau. Ya…… Gagal. Apa lagi jika berpikiran, payah nih produk kita, kenapa bisa mahal sih?! Atau, memang produk kita mahal. Pemikiran paling berbahaya.

Sebenarnya kita bisa memunculkan nilai lebih Pupuk N kita. Misal, meskipun Pupuk N kami lebih mahal, tapi di setiap kios pertanian ada, atau Distributor dekat dengan pelanggan, atau ini produksi dalam negeri, jadi ketersediaan lebih terjamin, misal demikian.

Namun, sikap terbuka dan menerima saran dari calon pelanggan juga diperlukan. Singkatnya kita perlu sedikit diplomatis. Agar kita tahu dengan lebih baik keinginan pelanggan.

Jangan Mudah Turun Harga

Mungkin saat mau closing, kita bisa mendapatkan penolakan. Alasannya, wajar “Bagus sih, tapi harganya kemahalan“. Hal ini bisa jadi beban bagi Penjual.

Kondisi ini dapat disebabkan karena, (1) kita tidak mengenalkan nilai produk dengan baik. (2) kita terlalu cepat bicara soal harga.

Kita perlu ingat, harga telah ditentukan dengan alasan dan perhitungan yang kuat. Utamanya adalah laba.

Dari laba itu, kita memperoleh bayaran, keuangan untuk perusahaan, dan orang lain di perusahaan kita. Atau mitra bisnis, partner usaha kita. Karena itu jangan mudah menurunkan harga. Kita harus kokoh dalam menghadapi tekanan penjualan.

Dalam penentuan harga pun, kita hendaknya berusaha mendapatkan laba yang pantas untuk produk kita. Jangan terlalu tipis.

Produk kita – – jika kita anggap produk kita berkualitas – – punya positioning yang harus dibangun. Dan jangan membangunnya sebagai “barang murahan” atau “produk yang harganya tidak jelas.”

Akhirnya…..

Tidak semua penawaran dan negosiasi berakhir manis. Kita bisa bertanya “seperti apa produk yang pelanggan inginkan”. Agar kita bisa lebih dalam mempelajari masalah.

Dan akhirnya kita harus menerima jika memang tidak berhasil, namun jangan lupakan tujuan kita. Yakni menjual. Dengarkan, Pahami, tanggapi, dan konfirmasi untuk mempererat hubungan dengan calon pelanggan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kesempatan Mendatang

Seri ke-13, Catatan Seorang Penjual

Saya tertarik untuk memulai Seri ke-13 ini dengan cerita. Semoga pembaca juga tertarik. Cerita yang akan saya ceritakan ulang dengan bebas.

Joseph Flom. Atau dikenal dengan Joe Flom. Seorang pengacara muda. Baru lulus. Saat sebagian pembaca saat ini mungkin belum lahir. Tahun 1940.

Ia mencoba menjual. Menjual kompetensinya yang luar biasa, sebagai pengacara. Dan salah satu mahasiswa terbaik di angkatannya.

Jualannya ke Firma-Firma Hukum (law firm) di New York.

Di tolak. Tidak berhasil. Artinya ia tidak diterima bekerja di firma hukum di sana.

Akhirnya, ia bergabung dengan firma hukum kecil yang baru berdiri, sebagai associate. Menangani semua masalah hukum, tidak pilih-pilih kasus. Termasuk  hukum perusahaan yang tidak disenangi waktu itu. Masalah pengambilalihan (akuisisi) perusahaan. Joe Flom masuk ke bidang itu. Dan ahli, meski di awal-awal, tidak keren.

Tiga puluh tahun kemudian, jika seseorang memiliki perusahaan yang masuk dalam Fortune 500 (daftar perusahaan terbesar versi majalah Fortune), dan akan diambil alih orang lain, atau tengah melakukan perubahan – – transformasi mungkin– Joe Flom, pernah menjadi pengacaranya. (cerita dari Outlier, Malcolm Gladwell).

Situasi Penjualan

Sebagai penjual, kita mungkin pernah menghadapi pelanggan seperti firma hukum yang menolak Joe Flom.

Menolak tawaran kita. Padahal kita memberi mereka yang terbaik.

Calon pelanggan begitu percaya diri (PD). PD level tertinggi. Sampai Over-Confident. Kelewat PD. Simbolnya warna merah. Merasa tidak butuh solusi kita.

Dari calon pelanggan dengan respon seperti ini, kita paling susah mendapatkan penjualan. Bahkan kita bisa dipandang sebagai pengganggu. Atau Penyusup yang hanya ingin mengambil keuntungan dari situasi calon pelanggan yang sudah sangat-sangat mapan.

Tips


Sebaiknya kita menyiapkan hati. Tetap berpikiran positif. Anggap saja ini ujian.

Sebaiknya tetap pertahankan komunikasi. Sapalah sesekali. Langsung, SMS, WA, email, IG, FB, dan lewat media lainnya.

Kita tidak pernah tahu, siapa tahu calon pelanggan berubah pikiran. Atau pasangan pengambil keputusan berubah. Atau orang-orang yang mengambil keputusan sudah berubah.

Tetap rendah hati, sabar, dan selalu bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Calon pelanggan tidak membutuhkan kita saat ini, tapi mungkin membutuhkan kita di masa depan”.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Pesaing Pelanggan

Seri Ke-12, Serial Catatan Seorang Penjual

Pernahkah Anda menghadapi pelanggan yang begitu percaya diri dengan kondisinya saat ini? Tidak sampai memandang rendah penjual sih. Atau memandang rendah produk kita. Atau reputasi perusahaan kita?

Pelanggan ini begitu stabil. Tingkat kepercayaan dirinya begitu tinggi. Tapi belum yang tertinggi. Ada yang lebih tinggi. Terlalu percaya diri.

Kondisi bisnis pelanggan ini begitu baik. Kinerjanya sesuai yang diinginkan. Bahkan, tawaran kita bisa dianggap ancaman. Bisa mengganggu kestabilan.

Inilah pelanggan dengan respon tipe ketiga. Even Kneel. Saya tidak cukup cakap menerjemahkan Even Kneel. Dengan simbol warna kuning. Sulit dipengaruhi.

Kuning, artinya kita harus hati-hati. Bisa sakit hati. Tapi tidak parah. Dan masih ada celah.

Tips

Tips dari buku menyatakan bahwa, kita harus mampu mengemukakan masalah di masa depan. Yang mungkin terjadi – – tapi belum terjadi. Masalah bagi pelanggan atau perusahaan pelanggan. Atau mengingatkan adanya tekanan dari pesaing, yang sudah pakai produk kita.

Pelanggan mungkin akan menyukai tawaran kita, jika ada masalah mendesak. Yang SOLUSI nya adalah produk kita.

Cerita Penjualan

Dua orang Penjual pupuk sedang ada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara pernah mengalami ini. Mereka mendatangi salah satu pelanggan. Pelanggan lama. Mencoba menggali kebutuhan. Dan menawarkan produk, tentu saja.

Masih penjajakan. Tapi pelanggan ini sudah membandingkan dengan pupuk merek lain. Dan menceritakan kondisi produk yang pernah diambil dari penjual sebelumnya. Yang begitu buruk. Nyesek di dada kedua penjual ini. Sedih.

Tapi pelanggan mengatakannya dengan baik. Tidak mencela. Tapi mengungkapkan fakta. Pelanggan tidak punya masalah dengan bisnisnya, potensi ada. Tapi produk yang ditawarkan tidak menjawab potensi permasalahan itu. Belum. Waktu itu. Sekarang, entahlah.

Cerita Lain

Lain lagi dengan penjual yang satu ini. Bagus triknya.

Ia menawarkan pupuk ke petani besar. Petani Hortikultura – – sayur mayur. Petani ini masih belum mau. Petani ini merasa tidak ada masalah dengan kondisi usaha taninya. Penjual inipun, pamit, meninggalkan kartu nama. “Jika nanti membutuhkan, jangan sungkan telpon saya Pak”. Tutupnya sambil pamit.

Di otaknya, ia berpikir. Tidak ada petani besar yang tidak ada temannya. Atau pesaingnya. Yang juga besar. Pesaing dalam hal gengsi biasanya. Gengsi dalam bagus-bagusan hasil usaha Tani.

Ketemu. Ia pun mendekati petani teman petani besar itu. Berhasil, petani ini akan mencoba di beberapa luas lahannya. Tidak semua. Cukuplah, pikir penjual ini.

Tak berapa lama, petani besar yang pertama telepon sang Penjual. Untuk mencoba produk yang sebelumnya pernah di tawarkan. Yang ditolaknya.

Jika tidak berhasil mendekati pelanggan, dekat temannya. Atau pesaingnya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Jualan Solusi

Seri Ke-11, Serial Catatan Seorang Penjual

Gambar awal dari marketing.co.id dengan penyesuaian

Ada cerita, seorang Penjual benih. Menawarkan benih terong dan cabai, kepada mantan petani – – pekebun karet.

Petani calon pelanggan ini baru menebang pohon karetnya, dengan maksud tidak diremajakan lagi. Tidak ditanam karet lagi. Mau ganti komoditas yang ditanam. Yang lebih menguntungkan tentunya.

Sang penjual mengobrol ngalor-ngidul (ke utara ke selatan) – – kesana kemari– dengan beberapa ex-petani karet. Memberikan penjelasan tentang nilai tambah bertani hortikultura. Dan risikonya. Termasuk pendampingannya.

Singkat cerita, petani tertarik. Tapi tidak langsung transaksi. Ada tahapannya.

Penjual ini, mengajak petani “baru” ini untuk studi banding. Ke petani binaan Sang Penjual di kabupaten lain.

Jadilah, petani baru ini beralih menjadi petani cabai dan terong. Bahkan petani yang sebelumnya dikunjungi, akhirnya mengunjungi balik. Petani mendampingi petani. Penjual mendapat penjualan dan pelanggan setia.

Penjual di atas menghadapi pelanggan (mantan petani karet) dengan respon tipe kedua. Yaitu Tipe – Problem. Sedang bermasalah dan membutuhkan bantuan segera. Disimbolkan dengan warna hijau.

Calon pelanggan akan membeli produk yang menjadi kesatuan dari penyelesaian masalah. Bukan hanya difitur yang unggul. Tapi lebih menekankan pada solusi.

Penjual harus mampu fokus pada pemecahan masalah. Bukan pada fitur produk atau menonjolkan harga yang murah. Tapi pada SOLUSI.

Jualah SOLUSI, bukan sekadar produk itu sendiri.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 3 Comments

Ping-Pong

Wacan Sore

Suatu kesempatan, salah seorang atasan saya pernah berkata : “keluarga itu seperti bola kaca. Sekali jatuh pecah. Bisa sih disatukan lagi, tapi sulit. Dan tidak bisa seperti semula. Sedangkan, pekerjaan, karir, jabatan, harta, itu seperti bola karet. Jatuh bisa kembali lagi”.

Mungkin seperti bola ping pong, tenis meja. Yang bisa memantul. Atau bola golf. Bisa memantul dan tidak mudah pecah.

Saya sepakat dengan keluarga adalah bola kaca. Harus hati-hati. Kepada anak dan Istri. Seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Hindari main-main (dalam arti ceroboh) dalam mengelola bola kaca, eh keluarga. Harus betul-betul tepat. Dilihat, diamati, dibersihkan, tapi jangan sampai gores. Apalagi jatuh.

Gelas kaca itu tidak sama antara satu dengan yang lain. Punya karakter sendiri-sendiri. Ada yang transparan. Ada yang gelap, pekat. Tapi satu, jika jatuh pecah. Maka hati-hati.

Jika bola karet, bola ping-pong, golf, memang untuk di main-mainkan. Untuk dipukul, untuk di tendang, agar mendapatkan hasil. Hasilnya untuk merawat bola kaca tadi.

Hasil bola karet, ping-pong, golf, dapat dengan mudah dilihat. Ada skornya. Menang atau kalah. Dalam permainannya.

Bola kaca, sulit menilainya. Tidak ada standarnya. Perawatannya sampai akhir hayat. Pertanggungjawabannya sampai di akhirat.

Nasihat bagi diri dan pembaca. Semoga bermanfaat.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Merespon Balik

Seri ke-10, Serial Catatan Seorang Penjual

Setelah kita berhasil melakukan kontak dengan pelanggan, bisa telepon, SMS, WA, DM, atau pertemuan langsung, itu adalah keberhasilan.

Lebih lagi jika sudah berhasil presentasi. Menjelaskan tujuan dan produk kita. Sebuah kemajuan. Namun, tentunya respon dari calon pelanggan tidak selalu baik.

Ada empat tipe respon dari pelanggan atau pengambil keputusan di perusahaan calon pelanggan :

Tipe yang pertama adalah Tipe Growth atau bertumbuh. Sering di simbolkan dengan warna biru.

Penawaran dan produk kita bukan merupakan hal yang ditunggu pelanggan. Tapi, produk kita bisa membuat capaian pelanggan menjadi lebih baik. Meski saat ini pelanggan sedang tidak ada masalah.

Kita memiliki peluang bagus untuk mendapatkan komitmen pembelian dari pelanggan.

Pastikan bahwa penawaran kita memberikan nilai tambah bagi kondisi pelanggan.

Kisah

Seorang penjual baru-baru ini mengontak pelanggan lamanya. Pelanggannya sudah mapan. Bisnisnya sudah oke.

Penjual ini menawarkan produk yang jenisnya sama dengan yang biasa ia ambil dari pemasok lain.

Penjual ini bilang, “Bang, boleh lho Bang kalau barang yang 10 ton ini di turunkan di 3 atau 4 titik berbeda. Nggak harus semua turun di gudang Abang”.

Yah, kan kena ongkos lagi”.

Nggak selama masih di sekeliling desa Abang. Kalau ke desa agak jauh baru kena, lagian sambil balik ini mobil.”

“Bagus sekali itu. Kenapa nggak dari dulu gini”. Kata pelanggan.

nggak boleh bilang gitu Bang, qadarullah“. Jawab Penjual itu.

ntar kalau sudah ada space, masukin deh berapa kamu mau, cash“. Tutup pelanggan.

Penawaran Sang Penjual, memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Pelanggan tadi tidak ada masalah, tapi ia mendapatkan peluang untuk menjadi lebih baik.

(Wiyanto Sudarsono)