Kita diajarkan untuk memiliki impian yang besar. Seringkali. Impian yang tinggi. Kemudian menuliskannya, berikut rencana dan langkah menggapainya.
Paling tidak, itu yang pernah saya terima saat pelatihan motivasi. Saat mahasiwa dulu. Harus besar dan tinggi, kalau meleset pun tidak akan jauh, jika arahnya tepat.
Hal tersebut (impian besar) tidak salah. Dan bagi seorang muslim bahkan impian dan citanya melintasi alam. Harapannya hingga ke masa depan di alam yang kekal abadi.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
āApabila kalian memohon kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena ia adalah surga yang terletak paling tengah dan paling tinggiā
[HR al-Bukhari: 2790]
Dalam kehidupan dunia pun, tidak buruk memiliki cita-cita yang tinggi dan besar. Apalagi yang berkaitan dengan orang lain, dengan niat melakukan perubahan, perbaikan dan kebaikan masyarakat.
Menjadi tidak elok jika besarnya cita-cita dunia kita, menutup cita-cita akhir kita, atau meremehkan cita-cita orang lain. Bisa jadi cita kecil orang lain yang diungkapkan, adalah cita antara. Baru semacam langkah berjuang.
Langkah kecil untuk mencapai tujuan besar yang didamba. Bisa jadi sama tujuan akhirnya (Jannah Firdaus). Sehingga tidak layak sesama seorang hamba meremehkan cita-cita Saudaranya.
“Jangan remehkan cara berjuang kawan seiman yang tampak remeh-temeh. Mimpi besar kita pandang bagus dan sesuai sunah, tapi JANGANLAH CEMOOH mimpi berjuang kawan. Siapa tahu, mimpi besar kita masih tertahan, sementara mimpi kawan sudah berangsur tertunaikan”. Demikian hikmah yang disampaikan Yusuf Maulana saat menceritakan mimpi sederhana Erdogan di tahun 1995, yaitu tak mau ada sampah di Istanbul.
(Wiyanto Sudarsono)
Bahan Bacaan: Yusuf Maulana. Tokoh-tokoh Fenomenal Penggetar Nalar. Pro-U Media. Yogyakarta: 2020.