Oleh Wiyanto Sudarsono

Melihat ke bawah saat berdesakan di lift, terlintas sesuatu di pikiran. Melihat sepatu berjejer di pinggiran tempat Wudhu, juga sama.
Ini bukan soal penularan bahaya yang lagi heboh. Bukan juga soal sepatu mana yang lebih bagus. Atau lebih baik, lebih laris.
Namun, pikiran ini melayang pada kompetensi diri. Kompetensi dalam melakukan pekerjaan.
Analogi
Diri kita ini, ibarat sepatu. Dalam sebuah sistem kebutuhan fesyen seseorang. Kompetensi, seperti kualitas sepatu. Kulitnya, solnya, modelnya, dan lain sebagainya.
Renungan ini sebenarnya, melayang pada ingatan tentang curhat dan diskusi seorang senior. Dulu sekali.
Tentang penghargaan (menurut versinya). Mungkin bisa promosi, kenaikan jabatan, atau hal lainnya. Seperti manusia – – karyawan– pada umumnya.
Ia menasihatkan, mengutip nasihat atasannya juga. Bahwa promosi, itu seperti memilih sepatu. Bagi manajemen.
Bisa jadi, kualitas sama baiknya. Harga sama mahalnya – – atau murahnya. Merek sama terkenalnya. Atau malah mungkin mereknya sama. Tapi satu hal yang bisa jadi tidak sama, UKURANNYA.
Mungkin manajemen saat hendak melakukan promosi – – memberi penghargaan atau mengisi kebutuhan manajerial– ukuran sepatunya di 40. Kita ini sepatu berukuran 42 atau 43. Tidak mungkin ia memakai sepatu kebesaran bukan? . Atau sebaliknya kita mungkin di ukuran 39, atau 38.
Tidak perlu berkecil hati. Tidak perlu merasa rendah diri. Jika tidak menjadi sepatu yang dipakai.
Kualitas sama atau bisa menyamai. Tapi ukuran sepatu – – eh kaki–, sudah merupakan pemberian dari Sang Pencipta. Kita tidak bisa mengubahnya.
Bahkan, mungkin saja akan dipilih sepatu dengan kualitas lebih rendah. Karena ukuran yang pas, ya yang itu. Dan satu sepatu, tidak bisa menyesuaikan ukuran, all size begitu.
Makanya, ini bukan soal kompetisi sepatu. Atau kompetisi memperebutkan sesuatu. Ini tentang diri sendiri dan kesesuaian.
Upaya, boleh. Sangat boleh, bahkan harus malah. Yakni dengan menjadikan kita sepatu yang berkualitas baik. Dengan meningkatkan kompetensi kita. Meningkatkan kemampuan kita.
Tetap bekerja dengan baik. Sebaik-baiknya. Sebagai syukur atas rezeki yang diterima. Sehingga saat tiba waktu yang pas, ukurannya pas, kita menjadi yang terpilih. Dan kualitas tidak mengecewakan.
Saat yang pas itu, mungkin bisa disebut Tipping Point. Paling tidak dalam kehidupan pribadi kita masing-masing.
(Wiyanto Sudarsono)
Mantap