Oleh: Wiyanto Sudarsono
Tidak ada yang salah dengan membeli sesuatu yang mubah -boleh/legal-, untuk sekedar kesukaan. Ada yang suka jam tangan, pakaian, barang antik, sepeda motor tertentu -vespa misalnya-, mobil mewah, atau seperti sekarang: sepeda.
Tidak ada yang salah selama punya uang. Yang bisa menjadi salah, jika memaksakan diri untuk membeli barang seperti itu dengan memaksakan diri. Sebenarnya diluar kemampuan, tapi memaksa -entah apa alasannya– sehingga mengorbankan yang pokok dari kebutuhan.
Soal kesukaan, saya baru kena sindir. Yakin yang menyindir tidak sengaja menujukan ke saya. Penyindirnya adalah toko buku online yang baru-baru ini saya membeli buku darinya.
Buku-buku dari penulis lama. Penulisnya sudah tiada, HOS Tjokroaminoto, Prof. HAMKA, A. Hasan, dan Tan Malaka. Empat buku.
“Koleksi buku yang dikumpulkan susah payah seumur hidup tidak ada artinya bila hanya sebagai pajangan” (Paulo Coelho). Demikian kutipan yang dicetak di stiker kecil, bonus dari toko buku daring itu.
Mak Jleb, rasanya. Kena dan tersindir sekali. Karena banyak buku yang sementara ini hanya sebagai pajangan.
Sebagai contoh. Saya sedang mengerjakan tugas untuk sebuah materi sertifikasi daring, Branding Operation dari Markplus Institute. Materi tugasnya adalah membuat resume terkait metrik produktivitas pemasaran.
Tugasnya tidak ada di video e-learning atau materi pegangan. Bisa jadi, kami diminta mencari referensi lain. Saya bertanya ke personel pengelolaan merek di kantor saya, belum ada tanggapan.
Saya mencari di internet, ketemu! Arikel berbahasa Inggris. Aaaargh, bahasa Inggris saya tidak bagus. Meski bisa memahaminya, tapi belum memuaskan.
Cari lagi, kali ini pencarian gambar. Muncul buku yang saya punya, Marketing 4.0. Sayangnya belum saya baca. Kuat dugaan materi ada di buku itu. Ambil, dan baca daftar isi, ketemu! Persis ada disitu. Tugas aman, sisa merumuskan jawaban.
Itulah asiknya -atau sedihnya- jadi kolektor buku. Beli, beli, beli, bacanya nanti. Terus begitu. Seolah tidak pernah ada waktu. Minimal jadi pembaca, tidak hanya kolektor buku. (Baca: Jebakan Toko Buku)
Jangan sampailah jadi orang yang rugi. Seperti keledai pembawa kitab. Bersusah payah membeli buku, tapi tidak membacanya.
(Wiyanto Sudarsono)