“Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah memercayakanmu.” (HR.Abu Dawud dan Tirmidzi)
Saya gagal menjaga amanah. Dari seorang yang mempercayakannya kepada saya. Kemudian membuatnya marah. Sebentar. Disusul kecewa. Saya yakin demikian. Kemudian lebih banyak sedihnya. Seperti pesan WA-nya kepada saya.
Amanah itu berupa rencana, diskusi, dan keinginan. Rahasia sifatnya. Saya tidak berhasil menjaganya. Saya keceplosan dan akhirnya bocor. Bahkan sampai kepadanya, tidak sampai hitungan jam. Begitu cepatnya.
Ia marah ke saya. Sebentar. Wajar. Kemudian sedih. Tampaknya agak lama. Atau akan lama.
Saya juga sedih. Saya telah mengkhianatinya. Orang yang memercayakan amanahnya kepada saya.
Tiga hari saya merenung. Tentu tidak tiga hari penuh. Disela sela kegiatan dan dikala jalan kaki. Renungan yang mendalam.
“Rencana” itu masih rencana. Jadi tidak layak diungkap. Meski akan diumumkan sendiri pada waktunya. Rencana yang saya pun belum mampu melaksanakannya.
Saya keceplosan. Meski tidak detail. Dalam maksud bercanda dan menggoda. Tidak sampai mengungkap rencana detailnya. Bahkan saya dengan percaya diri, menyilakan lawan bicara untuk tanya sendiri. Maksud saya, silakan tanya kepada orang yang mempercayakan kepada saya. Bodoh sekali saya.
Ah ternyata saya telah membocorkan amanah. Saya merasa telah berkhianat. Namun, saya tidak ingin menjadi orang yang terus merugi. Karena itu saya merenungi. Tentu akan sangat rugi jika saya tidak bisa mengambil pelajaran.
Pelajaran Bagi Saya (Sebagai Penerima Amanah)
1. Saya Jaga, Saya Diam.
Jika sudah bersedia menerima, maka saya harus menjaga setiap amanah. Amanah dalam hal ini adalah perkataan atau informasi. Bukan jabatan, harta, anak, atau yang lainnya.
Tutup rapat mulut. Jangan sampai keceplosan. Seremeh apapun informasi itu. Biasanya, si empunya informasi akan memberikan frasa “off the record“, “cukup diruangan atau cukup untukmu saja”, atau “jangan bilang ke yang lain”.
Frasa-frasa itu mengisyaratkan sebuah rahasia. Dan amanah bagi yang mendengarnya. Untuk dijaga, untuk tidak dibicarakan dengan orang lain. Untuk jangan sampai keceplosan. Jika tidak bisa? Maka….
2. Saya Lupakan Saja
Saya harus jadi orang yang pelupa. Dengarkan, tanggapi, lupakan. Bungentuwo. Mlebu tengen, metu kiwo(Masuk dari telinga kanan, keluar dari telinga kiri). Tanpa disimpan.
Ingatan alam bawah sadar akan menjadi tantangan saya. Sering kali secara tidak sengaja, itu jadi bahan pembicaraan. Maka saya harus pertimbangkan baik-baik.
3. Saya Tolak
Ini yang mungkin akan saya lakukan. Jika ada orang, berdua dengan saya, berkata kepada saya rahasia mereka. Terutama di lingkungan profesional saya.
Jika sudah keluar frasa “off the record”, “Rahasia antara kita”, “Cukup Pak Wi saja”, saya akan menolaknya: “stop, jangan dilanjutkan!”.
Atau saya akan memohon pengecualian, “saya akan berusaha menjaganya, tapi jika keceplosan, atau saya menilai penting untuk saya ungkapkan dengan lawan bicara saya yang lain, mohon pemaklumannya”. Jika ia menerimanya silakan dilanjutkan. Jika tidak bisa menerimanya, maka tidak mendengarnya akan lebih selamat.
Pelajaran Bagi Saya Sebagai Pemilik Informasi
1. Jika Rahasia, Saya Tak Akan Ungkapkan
Jika saya memiliki rencana, atau apapun itu, yang sifatnya rahasia, saya akan pedam. Atau saya tulis di ruang rahasia juga. Allah adalah sebaik-baik penyimpan rahasia.
Jika harus mengungkapkan, saya akan ungkapkan kepada orang yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Yang jika permasalahan atau rencana itu berkaitan dengan orang, saya akan bicarakan kepada orang yang tidak terkait langsung dengan orang-orang yang jadi objek pembicaraan.
2. Saya Akan Memakluminya: Tidak membebani orang lain.
Jika memang saya butuh masukan, saya akan ungkapkan kepada orang yang terpercaya dan menguasai permasalahan. Tapi saya upayakan tidak membebaninya degan frasa-frasa rahasia. Karena saya yang butuh, tapi saya menyulitkan orang lain. Itu tidak pas.
Jika saya siap mengungkap suatu rencana, kepada satu orang, saya harus siap jika diketahui lebih banyak orang. Karena menjaga amanah itu berat, saya tidak akan membebani orang dengan itu, yang tidak mereka inginkan.
Sesuaikan Posisi
Pelajaran yang saya ambil itu, sangat bisa didebat. Misalnya dengan ungkapan:
“Karena kita kan percaya pada dia, seharusnya kan jangan bocor!”
“Apa susahnya sekadar diam.” Dan lain sebagainya.
Pelajaran saya, saya harus betul-betul pisahkan antara saya di posisi penerima atau saya sebagai pemilik informasi. Jangan sampai saya membawa pelajaran untuk pemilik informasi, kemudian digunakan jika kita sebagai penerima informasi dan sebaliknya. Bisa kacau.
Itu mirip dengan, jangan menggunakan dalil larangan meminta-minta saat kita mau sedekah, bisa tidak jadi memberi. Atau menggunakan hadis keutamaan sedekah saat kita sedang hendak meminta. Bakal jadi pengemis.
Jika ada tips lainnya silakan sampaikan di kolom komentar.
Oh iya, alhamdulillah kawan yang saya “khianati”, telah kembali menelepon saya. 43 menit 25 detik. Tidak banyak yang bertelepon lama begitu. Orang tua, Istri saya, adik perempuan saya, dan sedikit kolega saya. Ia salah satunya.
Dan iapun kembali berkirim WA. Oh senangnya. Saya berharap ia memaafkan saya. Meski saya tidak banyak berharap kepercayaannya kembali pulih sepenuhnya.
Semoga menjadi nasihat bagi saya maupun bagi pembaca.
(WS)