Karhutla, kebakaran hutan dan lahan nampaknya menjadi trending, lagi. Paling tidak di lingkungan saya. Di orang-orang sekitar saya. Tapi saya belum cek di google trend. Hanya dari status WA mereka. Karhutla sangat dirasakan dampaknya Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar dan Kalteng. Teman-teman sekitar sangat mengeluhkan. Kualitas udara sangat buruk, jauh diatas ambang batas. Mereka membuat status WA, tentang kualitas udara melalui informasi konsentrasi partikulat di laman www.bmkg.go.id.
Banyak responnya. Beberapa diantaranya mengeluhkan sesak napas. Paru paru mulai sakit. Menuntut segera dicari pembakar lahan. Sampai Pemerintah dipersalahkan. Karena asap dimana mana.
Asap memenuhi lingkungan dan paru paru mereka. Mereka mengeluh. Wajar. Manusiawi. Sangat wajar. Kita sangat berempati, dengan apa yang menimpa mereka. Berbagai pihak melakukan cara. Pemadaman manual hingga rekayasa untuk hujan buatan.
Bagi yang beragam Islam dan religius, termasuk memahami fikihnya, mereka melakukan salat istisqa. Salat memohon kepada Allah, agar Allah menurunkan hujan. Sebagian mengajak beristighfar, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. Nuh ayat 10-12.
Sudut pandang lain menyatakan, karhutla adalah cara Allah menegur hambanya. Yang perokok khususnya. Namun dirasakan tidak hanya perokok. Yang mengasapi Paru-paru mereka. Pandangan ini mengingatkan bahwa Paru paru pemberian Allah. Allah menegur dengan memberikan asap ke paru paru, dengan buruknya kualitas udara. Karena pembakaran, karhutla. Mirip dengan pembakaran “tuhan sembilan senti”-nya Taufik Ismail, yang dipuja dan dekat bagi sebagian orang.
Semoga kita dapat mengambil Pelajaran.
(Wiyanto Sudarsono)