Oleh Wiyanto Sudarsono
Pengunjung toko buku bermacam jenisnya. Pelancong, pengantar, kolektor, pembaca, penulis.
Seseorang yang hanya jalan-jalan ke toko buku: pelancong. Sekedar menghilangkan penat.
Seseorang yang hanya mengantar ke toko buku: pengantar. Yang beli atau yang baca adalah anak atau kawan.
Pembeli buku, bacanya belum tentu: kolektor. Rajin beli buku, tapi sedikit yang selesai,bahkan mungkin tidak ada yang selesai.
Pembaca: datang ke toko buku dengan niat mau membaca buku. Dengan cara membeli kemudian dibaca, atau hanya sekedar baca yang sudah dibuka.
Membaca, atau membeli untuk dibaca dan jadi referensi atau inspirasi untuk karya tulis: penulis. Pengunjung toko buku teristimewa menurut saya.
Saya atau kita termasuk yang mana? Kalau saya, sering masuk toko buku sebagai ‘sok’ pembaca, ‘sok’ pencari inspirasi untuk tulisan, namun, sering kali berakhir sebagai kolektor. Masih banyak buku saya yang masih tersegel plastik. Sedih. Apakah saya perlu ikut kelas membaca?
Emosional
Sering kali mengunjungi toko buku,atau bazar buku, emosi dan khayalan yang bermain. Pengen baca ini dan itu, tapi hanya emosional sesaat. Langkah nyatanya: Nol.
Mengadopsi salah satu materi menulis dari mentor saya (secara resmi saya hanya memiliki satu mentor dalam penulisan), kita harus memaknai dan memprioritaskan membaca. Sebagaimana menulis, membaca juga ada zonanya. Zona waktu membaca dan zona tempat membaca. Itu jika kita hanya sampai menjadi pembaca. Terutama pembaca buku yang sudah dibeli.
Jika sebagai penulis, membaca lah sebagai penulis. Membeli buku sebagai penulis. Berkunjung ke toko buku sebagai penulis. Beli sesuai tema yang sedang ditulis. Kalap sesekali saat bazar buku mungkin dapat ditoleransi.
Jangan terjebak di toko buku. Jebakan toko buku: Membeli banyak buku tapi tidak dibaca. Meski saya sendiri berprinsip: beli dulu, bacanya nanti, yang penting beli, yang penting punya.
Terbaik adalah: Membeli, membaca dan menulis buku. Dan menulis adalah kasta tertinggi literasi. Demikian yang pernah saya dengar atau baca.
Karena itu, tetaplah ke toko buku. Witing tresno jalaran songko kulino. Apalagi jika, bisa menunjukkan buku yang kita tulis (berharap) kepada anak atau cucu. Bismillah.
(Wiyanto Sudarsono)
[…] Itulah asiknya -atau sedihnya- jadi kolektor buku. Beli, beli, beli, bacanya nanti. Terus begitu. Seolah tidak pernah ada waktu. Minimal jadi pembaca, tidak hanya kolektor buku. (Baca: Jebakan Toko Buku) […]