Posted on

Jadi Nego

Seri Ke-16, Serial Catatan Seorang Penjual

Sore kemarin ada pasangan suami istri mencari matras. Kasur untuk tidur. Ada paling tidak tiga brand yang ada di salah satu toko ritel. Di pasar tradisional di kota.

Satu merek terpilih. Tinggal harga yang belum disepakati. Cukup alot.

Penjual tidak bisa menurunkan harga lagi. Bisa kena sanksi. Dari Distributor dan dari pemilik brand/produsen.

Itulah pasar ritel. Harga sudah diatur. Meski tawaran pertama bisa dinaikkan. Tapi, penjual ritel memegang daftar harga. Terkadang daftar harga itu diperlihatkan.

Kebijakan harga di pasar ritel begitu. Paling tidak demikian yang saya amati. Harga pengguna akhir ditetapkan. Ditulis dalam katalog. Kadang ditulis dan ditempel di kios.

Harga beli Pengecer dikurangi (didiskon) sekian persen dari harga katalog itu. Distributor dapat diskon sekian persen dari harga itu.  – – lebih besar dari Pengecer tentunya–.

Turun Harga Bukan Solusi

Penjual punya titik kritis. Harga terendah yang bisa diberikan. Biasanya ya harga di katalog itu.

Ada juga harga target. Harga yang sedang. Dan ada titik yang masih mungkin. Harga tertinggi yang bisa ditawarkan.

Rentang harga terendah – tertinggi, adalah harga yang masih bisa diterima oleh konsumen.

Jika penjual ritel sudah mengeluarkan harga katalog, dia sudah sampai pada titik kritis. Sudah tidak bisa turun lagi. Menurunkan harga bukan lagi solusi. Tidak bisa lagi dibahas dalam negosiasi.

Pembeli membuka poin negosiasi baru. “kami tidak hanya membeli matras, kami juga perlu lemari, bisakah kami mendapat bonus bantal atau guling?” tanya sang istri.

“bisa, kata penjual. Tapi nanti di nota tetap sesuai harga awal. Tapi nanti kami kirim bantal bonusnya”. Tegas penjual.

Menurunkan harga tidak bisa. Apalagi jika memotong laba penjualan. Menambah bonus masih bisa. Lagian tidak nyaman tidur di matras baru tanpa bantal.

Dan banyak hal yang bisa di negosiasikan. Selain harga tentunya. Bonus, pengiriman, penjualan bersama produk lain, metode pembayaran. Tapi apa yang bisa dan tidak tentu perlu dibicarakan dulu di internal organisasi kita.

(Wiyanto Sudarsono)