Posted on Leave a comment

Empati di Era Pandemi

Diskusi Bersama Sobat Penjualan

Ahad (03 Mei 2020), kami melakukan diskusi kecil dengan para penjual di wilayah luar Jawa dan Bali. Tujuan saya ingin mengetahui dampak covid terhadap harga komoditas pertanian. Sekalian, menguji, apakah para penjual kami peduli akan hal yang terjadi di wilayahnya dan kepada pelanggannya.

Ada dua kondisi yang terjadi di era pandemi seperti sekarang ini. Ancaman dan peluang. Pun di sektor pertanian.

Ancaman : menurunnya harga jual komoditas pertanian karena adanya gangguan sistem,  bisa disisi pasokan atau permintaan, sehingga menurunkan potensi keuntungan.

Peluang : beberapa produk yang ternyata mengalami kenaikan harga jual maupun volume penjualan karena pandemi, sehingga menaikkan potensi profit. Baik karena meningkatnya permintaan atau gangguan di rantai pasokan produk subtitusi.

Kita yang di pertanian, perlu melihat urutan pertama rantai pasok yang sekaligus pelanggan utama kita – – Petani.

Kita harus melihat harga ditingkat petani. Bahkan masing-masing sentra pertanian kita harus lihat harga ditingkat petani. Hal ini, akan memengaruhi daya beli petani, yang akhirnya akan berdampak pada permintaan mereka terhadap sarana produksi pertanian.

Wilayah Positif

Untuk wilayah yang mendapatkan peluang, yakni harga komoditas pertanian naik, atau stabil, ditingkat petani, kita bisa, memanfaatkan ini. Tapi kita perlu ingat, ini bisa sangat spesifik wilayah sekali. Sesuai sentra satu komoditas tersebut.

Jika kita melihat, komoditas itu (misal bawang merah/putih) memiliki tren positif di era pandemi ini, kita bisa tetap melakukan pendekatan (approaching) kepada pelanggan kita di sentra bawang. Kios atau petani bawang. Bahkan harus. Sayang jika saat-saat baik ini terlewat.

Jika kenaikan harga bawang ini sampai ketingkat petani, petani lagi pegang uang. Petani bisa kita ajak, mempersiapkan musim berikutnya. Produk unggulan kita, yang memberikan keuntungan besar, meski harganya relatif tinggi, bisa kita tawarkan.

Wilayah Negatif

Untuk wilayah dengan sentra komoditas yang terdampak negatif, kita perlu hadir juga. Tidak harus untuk penjualan, tapi untuk menunjukan empati, perhatian, dan kehadiran saat situasi sedang tidak menguntungkan. Mendengarkan.

Saat ini, kita tidak bisa berbuat banyak, sama seperti pelanggan kita. Diskusikan jalan keluar. Mungkin diskusi tentang komoditas lain yang cukup efisien untuk ditanam, yang harga relatif lebih baik. Jika kios, kita bisa kembangkan pasar atau wilayah yang masih bisa kita lakukan penjualan. Penawaran produk masih bisa. Tapi harus hati-hati sekali. Yang benar-benar efisien, yang nilainya tidak terlalu tinggi.

Saat ini empati lebih dibutuhkan dari materi.

(Wiyanto Sudarsono)

Saya akan sampaikan tanggapan atas tulisan saya di atas. Sebagai contoh. Bahwa penjual juga bisa menulis dengan baik. Saya beri judul tanggapan itu :

Wujud Nyata Empati?

Wah menarik sekali ini Pak. Ide segar membuka wawasan ditengah pandemi sedang melanda. Kita harus jeli melihat peluang dalam keadaan “spesial” seperti sekarang ini, sekaligus juga kita harus memberikan empati kepada para petani yang terdampak. Tapi saya kira hampir semua orang terdampak pendemi covid-19 ini, hanya saja persentase dampaknya yg berbeda bagi kehidupan masing-masing manusia.

Bagi petani yg persentase dampak pendemi ini tinggi bagi kehidupan mereka, mungkin kita bisa berikan empati dalam bentuk materil atau nonmateril sehingga ke depan kita dapat menerima simpati dan loyalitas dari mereka.

Bagi petani yang persentase dampak pendemi ini rendah bagi kehidupan mereka, kita bisa support memperlancar pendistribusian hasil pertanian yg mereka hasilkan dan feedback-nya mereka akan berikan simpati dan loyalitas untuk kita.

Setelah pandemi ini berakhir, simpati dan loyalitas dari petani ini akan berpengaruh pada penjualan produk non-subsidi dari PG.

Dengan kata lain, pandemi ini bisa juga dijadikan ajang “mencuri” start secara tersirat untuk menghadapi perang produk ke depan. Ini domino effect positif dari apa yang kita lakukan di tengah pandemi ini. Sah-sah saja kita membangun persfektif baik untuk menyentil psikologis petani agar mendapatkan simpati dan loyalitas dari mereka dgn cara yg elegan.

Tapi pertanyaannya, ditengah pendemi ini berlangsung, sejauh mana bentuk nyata wujud dari rasa empati kita terhadap petani ?
Apakah wujud dari rasa empati itu sudah tersebar merata sampai ke pelosok negeri?

Oh ya salam kenal Pak, saya Riko Fahriyal dari Sumatera Selatan. Mohon arahannya jika pemikiran ini sedikit agak nakal dan genit dlm menyikapi sesuatu yg lg hangat dibicarakan dewasa ini.

Salam Santun 🙏🙏🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *